Dinasti Abbasiyah


Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu Dinasti dalam Islam yang pernah menjadi Negara adidaya. Dinasti tersebut merupakan lambing supremasi kemajuan dan kejayaan Islam di masa lampau, terutama pada masa Islam klasik atau periode pertama pemerintahan dinasti tersebut. Pada periode-periode berikutnya peran politik dan militer mengalami kemunduran, kecuali di bidang sosial, ekonomi dan peradaban yang tetap mengalami kemajuan.[1]

Dinasti Abbasiyah, secara realitas merupakan kelanjutan dari dinasti Bani Umayyah walaupun pada hakekatnya secara administrative structural kedua dinasti tersebut tidak ada kaitannya, bahkan keduanya saling berkonfrontasi. Pergantian tersebut mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar perubahan kekuasaan semata. Peristiwa itu merupakan revolusi dalam sejarah Islam. Revolusi itu tidak terjadi karena kudeta melainkan hasil kegiatan propaganda revolusioner yang menghimpun berbagai kekuatan orang-orang yang tertindas dalam waktu yang cukup panjang.[2]

 

Perumusan Masalah

Periode Abbasiyah dalam sejarah Islam dan peradabannya merupakan periode yang sangat panjang. Sebagaimana disebut di awal, perode Abbasiyah setelah melewati beberapa fase, dinasti ini menyaksikan perpecahan politis hingga melahirkan berpuluh-puluh dinasti  di berbagai wilayah. Salah  satu di antara dinasti-dinasti tersebut adalah dinasti Fathimiyah. Dinasti inilah yang dibahas dalam penelitian ini.

 

Dalam deskripsi persoalan-persoalan berkenaan dengan pembahasan dalam penelitian ini, setidaknya ada empat persoalan yang akan menjadi patokan pembahasan  : Pertama, latar belakang Fenomena sejarah kemunculan dinasti fathimiyah; Kedua, apa sumbangan terbesar peradaban Islam di masa Dinasti fathimiyah, khususnya di masa khalifah Mu’izzudin li din Allah; Ketiga, apa yang menjadi faktor utama kontroversi penisbatan nama Fathimiyah pada dinasti Fathimiyah; Keempat, apa penyebab factor utama keruntuhan dinasti Fathimiyah, adakah korelasinya dengan pemicu terjadinya perang salib dan bagaimana posisi keterkaitan khalifah dalam terjadinya perang salib.

 

Kekuasaan politik dan kedaulatan merupakan jaminan Tuhan untuk umat manusia dan merupakan perwakilan Tuhan kepada manusia untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya. Dan hukum-hukum Allah yang berlaku untuk hamba-hamba-Nya tidak lain hanya untuk kebaikan dan menjaga kemaslahatan-kemaslahatanya. Hal ini diperlihatkan oleh syariat-syariat agama. Sedangkan hukum-hukum yang buruk berasal dari kebodohan dan setan, berbeda dengan takdir dan kekuasaan Tuhan. Dia menciptakan keduanya baik dan buruk serta menetapkannya, sebab tak ada yang bisa melakukan keduanya kecuali dia.

 

Kata khailafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya.[3] Istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah.[4] Dalam sejarah, khilafah sebutaan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti khilafah Abu Bakar, khilafah Umar bin Khattab dan seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka.

 

Kata khilafah serupa pula dengan kata imamah yang berarti keimanan, kepemimpinan, pemerintahan, dan dengan kata imarah yang berarti keamiran, pemerintahan.[5]

Orang yang menjalankan tugas kekhalifahan disebut khalifah atau imam. Disebut khalifah karena orang yang berkuasa itu menggantikan tugas-tugas Nabi Muhammad terhadap umatnya. Sedangkan disebut imam karena mengidentikkannya dengan imam shalat dalam hal mengikuti dan menurut segala tingkah laku dan perbuatannya. Oleh karena itulah, jabatan ini disebut imamah kubra (keimaman paling besar)[6]

  

 

Maududi menjelaskan bahwa yang diberi tanggung jawab khilafah yang sah dan benar bukanla perorangan, keluarga atau kelas tertentu, tetapi komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima prinsip dan gagasan bahwa kekuasaan Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan, menyrahkan kedaulatan hokum tertinggi kepada keduanya dan meyakini bahwa khilafahnya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya yaitu Allah Swt.[7]

 

 

Khilafah dan imamah memiliki sejarah yang panjang dan penting di dunia Islam. Institusi khilafah muncul sejak Abu Bakar terpilih sebagai khalifah  Rasul dan berlanjut pada masa Umar, Usman dan Ali. Kemudian terbentuk pul khilafah Bani Umayyah di Damaskus dan Spanyol, khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad, khilafah Fathimiyah di Mesir, khilafah Turki Usmani di Istanbul. Terbentuknya khilafah-khilafah tersebut sekaligus telah mengubah system dan bentuk pemerintahan dari system musyawarah pada masa Khulafa Rasyidin kepada system dan bentuk dinasti dan monarki.[8] Perubahan system tersebut diawali pada saat berkuasanya Muawiyah


[1] JJ Saunders, A History of Medieval Islam, (London : Routledge and Kegan Paul, 1978), h. 121

[2] Bernard Lewis, The Arabs in History, terjamahan Said Jamhari, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah , (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 76

[3] Ibn Mnazhur, Lisan al-‘Arab, (Beirut : Dar Sahdir, 1968), Vol. IX, h. 83. Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir : Dar al-Ma’arif, 1972), h. 251

[4] Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam, (New Delhi : Oriental Books Print Corporation, 1976), h. 270

[5] Mohammad E Hasin, Kamus Istilah Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1987), h. 55

[6] Khaldun, Muqaddimah Abnu, h. 232-234

[7] Abu al-A’la al-Maududi, Al-Khilafah wa al-Mulk, terjemahan Muhammad al-Baqir, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung : Mizan, 1996), h. 67

[8] Khaldun, Muqaddimah Ibn, h. 247-258

Kiprah Iran Pasca Revolusi Islam


Diawal tahun 1979, Ayatullah Ruhullah Khomeini memimpin sebuah revolusi Islam menumbangkan penguasa monarkhi, Shah Pahlevi. Kemenangan rakyat Iran ini adalah bencana besar bagi Amerika Serikat, karena hal ini sama artinya dengan kehilangan sahabat karib. Terlebih lagi pemerintahan baru yang dipimpin oleh kaum Mullah sangat anti-AS , bahkan Ayatullah Khomeini menjulukinya ”Setan Besar”. Iran memiliki arti strategis bagi AS sebagai negara penyangga untuk membendung wilayah Timur Tengah dari pengaruh komunisme Uni Soviet, dan juga untuk menjamin keamanan sekutu utamannya di wilayah kaya minyak tersebut, Israel.

Sejak berada dalam pangkuan pemerintahan Islam-Syiah, Iran mengorientasikan kebijakan luar negerinya pada penyebaran nilai-nilai revolusi Islam ke negara-negara Arab dan Islam agar kaum Muslimin bangkit melawan para penguasa yang represif (dan sekuler). Cita-cita ini terbukti dengan lahirnya gerakan-gerakan perlawanan di berbagai wilayah konflik di Timur Tengah seperti Lebanon, Palestina dan Irak, tidak lama setelah gelombang revolusi menyapu Iran.

Belum genap satu tahun pasca revolusi, pada September 1980 Iran harus menghadapi gempuran dari pasukan Irak. Serangan tersebut dilakukan karena penguasa Irak, Saddam Hussein (1979-2003), merasa khawatir akan masuknya pengaruh Revolusi Islam Iran ke Irak dan negara-negara Arab lainnya. Perang yang berlangsung selama delapan tahun ini membawa dampak politik yang besar di Timur Tengah, karena memecah negara-negara Arab ke dalam dua “poros”. Dua negara Arab “radikal”, Libya dan Suriah, berada di pihak Iran. Langkah kedua negara ini memang sangat berani, karena Uni Soviet yang merupakan pensuplay utama persenjataannya berada di pihak Baghdad. Untuk mengimbangi poros Iran-Libya-Suriah, negara-negara Teluk membentuk GCC (Gulf Coooperation Council) yang berangggotakan Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman dan Uni Emirat Arab, sedangkan negara-negara Arab konservatif membentuk ACC (Arab Cooperation Council) yang beranggotakan Mesir, Irak, Yaman dan Yordania.
Keterlibatan Iran dalam konflik Lebanon adalah karena alasan ideologis-politis. Iran banyak memberikan dukungan atas perjuangan kaum Syi’ah di Lebanon yang walaupun mayoritas tetapi diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Beirut yang didominasi oleh golongan Maronit dan Islam Sunni. Ketika terjadi eskalasi konflik, dukungan kuat Iran tertuju kepada Hizbullah dan Amal Al-Islam. Kedua milisi bersenjata ini adalah yang garis perjuangannya konsisten pada nilai-nilai Islam Syiah.

Hizbullah adalah kelompok yang dibentuk oleh Sayyid Muhammad Hussein Fadhlalah. Gerakan yang sekarang dipimpin oleh Sayyid Hasan Nashrallah ini memperoleh dukungan dana dan perenjataan dari Teheran, sehingga pada saat ini Hizbulllah menjelma menjadi milisi bersenjata terkuat di Lebanon. Pada Juni 1975, Imam Syiah Lebanon, Ayatullah Musa Al-Sadr mendirikan Harakat Al-Mahrumin. Gerakan ini kemudian membentuk sayap militer Amal (Afwaj Al-Muqawamah Al-Lubnaniyah). Setelah Imam Musa wafat pada tahun 1978, Amal terpecah menjadi dua, yaitu Amal pimpinan Nabih Berri yang berorientasi nasionalis-sekular dan Amal Al-Islam pimpinan Hussein Al-Musawi yang ”fundamentalis-Islam” . Di samping itu, Iran juga mendukung beberapa kelompok perlawanan lain seperti Jihad Islam, Organisasi Keadilan Revolusioner (keduanya berpaham Syi’ah), dan Tauhid (Sunni).

Irak adalah negara tetangga Iran yang 60-65% penduduknya berpaham Syiah, namun politik dan pemerintahannya selalu dikuasai oleh kaum Sunni. Bahkan sejak Saddam Hussein berkuasa, represi pemerintah terhadap kaum Syiah semakin meningkat. Pada tahun 1980, misalnya, pemimpin Syiah Irak, Imam Ayatullah Baqir Al-Shadr, dihukum mati bersama keluarga dan sejumlah pengikutnya. Oleh karena itu, banyak sekali rakyat dan pemimpin Syiah Irak yang melarikan diri ke Iran untuk mencari perlindungan, dan menjadikan Iran sebagai tempat pembentukan dan basis gerakan subversif terhadap rezim Saddam Hussein. Paling tidak ada empat kelompok oposisi Syiah Irak yang berbasis di Teheran, yaitu SAIRI (The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq), Partai Dakwah Islam, Al-Mujahidin dan Organisasi Aksi Islam. Hal ini kemungkinan karena kedua negara saling berbatasan, serta adanya ikatan keagamaan sebagai sesama pemeluk mazhab Syiah Itsna Asy’ariyah (Syiah DuaBelasImam) .

Tumbangnya rezim Saddam Hussein mengakhiri penderitaan kaum Syiah Irak dari represi rezim tersebut, namun menghantarkan pada ancaman baru yang lebih besar, yakni Amerika Serikat. Keberadaan AS sebagai hegemon baru di Irak menjadi musuh bagi para kelompok oposisi dan sayap militernya yang dulu menentang Saddam Hussein, baik yang berbasis Sunni maupun Syiah.

 

 

KOTA MAKKAH ADALAH PUSAT BUMI


Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah.

Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, dia berkata, “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ?.”

Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada alasan tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut. Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah.

Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus. Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.

Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.

Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka’Bah, maka seakan-akan diri kita di-charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.

Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah musium di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut ( dari Ka’Bah ) dan pihak musium juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.

Rasulullah SAW bersabda :

“Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam”

Radiasi dari Ka’bah ini tak dapat diketahui tanpa pesawat antariksa abad 20, membuktikan jika Qur’an ialah berasal dari ALLAH, & bukti Qur’an mukjizat sepanjang masa. Karena banyak ayat yang baru dapat dibuktikan oleh peralatan terakhir, zaman terakhir.

Adakah hadis nabawi yg mbuktikan fakta yang mengejutkan ini?

Jawapannya adalah YA..

Nabi bersabda:
‘Ka’bah itu adalah sesistem tanah di atas air, dari tempat itu bumi ini diperluas.’ Ini dapat dibuktikan dgn fakta2 saintifik:

Bukti2 Makkah Pusat Bumi

[ Bukti 1 ]
Allah berfirman di dalam al-Qur’an al-Karim sebagai berikut:

‘Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya..’ (asy-Syura: 7)

Kata ‘Ummul Qura’ berarti ibu bagi kota-kota lain, dan kota-kota di sekelilingnya menunjukkan Makkah adalah pusat bagi kota-kota lain, dan yang lain hanyalah berada di sekelilingnya.

Sebagaimana seorang ibu adalah sumber keturunan, maka Makkah juga merupakan sumber kepada semua negeri lain, sebagaimana dijelaskan pada awal kajian ini.

[ Bukti 2 ]
Ada beberapa ayat dan hadis nabawi yang memperkuatkan fakta ini. Allah berfirman maksud-nya:

Wahai jin dan manusia, jika kamu sanggup menembusi (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusinya kecuali dengan kekuatan (ilmu pengetahuan). (ar-Rahman: 33).

Berdasarkan ayat ini dan beberapa hadis dapat difahamkan bahawa diameter lapisan-lapisan langit itu di atas diameter bumi (tujuh lempengan bumi). Jika Mekah berada di tengah-tengah bumi, dengan itu bererti bahwa Mekah juga berada di tengah-tengah lapisan langit.

[ Bukti 3 ]
Selain itu ada hadis yang menerangkan bahawa Masjidil Haram di Mekah, tempat kaabah berada itu ada di tengah-tengah tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan yang membentuk bumi.

Nabi SAW bersabda maksudnya:
“Wahai orang-orang Mekah, wahai orang-orang Quraisy , sesungguhnya kamu berada di bawah pertengahan langit”.

[ Bukti 4 ]
Prof. Hussain Kamel menemukan suatu fakta mengejutkan bahwa Makkah adalah pusat bumi. Pada mulanya ia meneliti suatu cara untuk menentukan arah kiblat di kota-kota besar di dunia.

Untuk tujuan ini, ia menarik garis-garis pada peta, dan sesudah itu dia meneliti posisi 7 benua terhadap Makkah dan jarak masing-masing. Setelah 2 tahun membuat kajian yg complex itu dgn program2 komputer utk menentukan jarak2 yg tepat dll. Dia merasa kagum dengan apa yang ditemukan, bahwa Makkah merupakan pusat bumi.

Dia mengumpamakan seperti 1 lingkaran dan Makkah ialah titik pusatnya, dan garis luar lingkaran itu adalah benua-benuanya. Pada waktu yang sama, ia bergerak bersamaan dengan keliling luar benua-benua tersebut. (Majalah al-Arabiyyah, edisi 237, Ogos 1978).

[ Bukti 5 ]
Gambar-gambar Satelit, yang muncul kemudian pada tahun 90-an, memberikan hasil yang sama ketika kajian lebih lanjut mengarah kepada topografi lapisan-lapisan bumi dan geografi waktu daratan itu diciptakan.

[ Bukti 6 ]
Telah ada teori ilmiah yg sahih bhawa lempengan-lempengan bumi terbentuk selama usia geologi yang panjang, bergerak secara teratur di sekitar lempengan Arab. Lempengan-lempengan ini terus menerus memusat ke arah itu seolah-olah menunjuk ke Makkah.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. QS. 4 An-Nisaa’:82

NURCHOLIS MADJID DAN AMIEN RAIS


KOMPARASI PEMIKIRAN DUA CENDIKIAWAN MUSLIM INDONESIA

NURCHOLIS MADJID DAN AMIEN RAIS

TERHADAP PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA

 

 

 

Nurcholis Madjid atau biasa kita sapa dengan sebutan Cak Nur, lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939 atau bertepatan dengan 26 Muharram 1350 Hijriyah. Ayahnya KH. Abdul Madjid, seorang kyai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang, yang didirikan dan dipimpin oleh salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Ibunya putrid Kyai Sadjad dari Kediri yang juga teman dari KH. Hasyim Asy’ari (Dedi Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim. 1998).

 

Sejak kecil Nurcholish Madjid mendapatkan kesempatan untuk menikmati dua cabang pendidikan, yakni pendidikan model madrasah yang lebih banyak memberikan pelajaran agama, dan pendidikan umum, yang menggunakan metode pengajaran modern. Pada tingkat dasar inilah Nurcholish Madjid menjalani pendidikan di Madrasah al-Wthaniyah, yang dikelola orang tuanya sendiri, dan Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang. Selepas itu, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP), di Jombang pula. (Siti Hadroh, 1998).

 

Nurcholish Madjid muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan politik. Selain keluarganya yang berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) ayahnya, KH. Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi (situshttp://www.tokohindonesia.com/majalah/09/nurcholis.shtml.diakses 21 juni 2009)

 

Pada usia 14 tahun, Nurcholish Madjid belajar ke Pesantren Darul-Ulum, Jombang. Bertahan selama dua tahun, karena banyak dicemooh oleh teman-temannya karena pendirian politik ayahnya yang banyak terlibat di Masyumi. Nurcholish kemudian dipindahkan ayahnya ke Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Menamatkan pendidikannya di Gontor pada 1960, dan sempat mengajar di almamaternya selama satu tahun lebih. Perpindahan pendidikan Nurcholish Madjid ke Gontor  cukup berpengaruh dalam mewarnai intelektualitas Nurcholish Madjid. Yakni tradisi yang memadukan dua kultur, liberal gaya modern Barat dengan tradisi islam klasik. Kedua kultur ini diwujudkan dalam system pengajaran maupun materi pelajaran. Literatur kitab kuning karya ulama klasik juga diajarkan di Gontor tetapi dengan system pengajaran yang modern, suatu system yang relative kurang dikenal dalam tradisi pesantren klasik pada umumnya. Pada tahun 1968, dalam kapasitasnya sebagai ketua umum PB HMI, Nurcholish Madjid berkunjung ke Amerika untuk memenuhi undangan program “ Profesional Muda dan Tokoh Masyarakat”, dari  pemerintah Amerika Serikat.

 

Pemikiran Nurcholish Madjid di era 1966-1968 yang cenderung mencurigai Barat melalui gagasan modernisasi dan westernisasi yang banyak diperkenalkan oleh intelektual “sekuler” pada awal orde baru memperoleh respons yang  negative dari Cak Nur. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa ia diundang untuk berkunjung ke Amerika pada masa itu. Kunjungan itu berlangsung selama lima pecan. Selepas lawatan itu, Nurcholish Madjid tidak langsung kembali ke tanah air melainkan singgah dan melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah ini sangat mempengaruhi warna pemikiran Nurcholish Madjid untuk kemudian menulsi Nilai Dasar Perjuangan (NDP), suatu dokumen organisasi yang kemudian dikenal sebagai ‘pegangan ideologis” HMI (Anas Urbaningrum, 2004). Pada tahun 1969, pulang dari lawatan pertamanya di Amerika Serikat dan beberapa Negara Timur Tengah inilah, kumpulan gagasan radikal Nurcholish yang merupakan pendapat dan pemikirannya mengenai pembaharuan di dalam Islam di syahkan menjadi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam kongres HMI di Malang. Sebelum Nurcholish Madjid menyusun NDP, sebetulnya ia telah menyusun semacam kertas kerja yang disampaikan pada seminar Garis Perjuangan HMI yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi (Badko)HMI Jawa Bagian Barat, bulan Februari 1968. Di dalam pertemuan ini, Nurcholish Madjid menyebutkan sebagai Nilai-Nilai Dasar Islam (NDI). Tetapi menurut Nurcholish Madjid rumusan itu hanya untuk menjawab persoalan-persoalan situasional saat itu. Juga kalau disebut NDI, berarti klaim HMI terhadap Islam dianggap terlalu besar, maka NDI diganti menjadi NDP. Pada sebuah acara Halal bi Halal dan Silaturahmi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam, yang terdiri dari undur Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami) dan Gerakan Pemuda Islam (GPI) pada tanggal 3 Januari 1970, Nurcholish Madjid yang melansir pemikirannya tentang sekulerisasi (Anas Urbaningrum 2004). Nurcholish Madjid yang bertindak sebagai pembicara tunggal dalam forum ini menyampaikan makalah dengan judul “ Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, yang merupakan momen bagi Nurcholish Madjid dalam melontarkan gagasannya mengenai sekulerisasi dan anjurannya kepada kaum muslimin untuk membedakan mana yang sekulerisasi dan transcendental serta mana yang temporal.

 

Kota Baghdad


BEBERAPA FAKTOR UTAMA KEHANCURAN BAGHDAD

OLEH BANGSA MONGOL

 

KOTA BAGHDAD SEBELUM KEHANCURAN

 

Baghdad merupakan pusat pemerintahan dan peradaban pada masa Bani Abbasiyah. Ibu kota Negara pada awalnya adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun, pada masa khalifah al-Mansyur ibu kota Negara dipindahkan ke kota yang baru didirikannya yaitu kota Baghdad yang terletak di dekat ibu kota Persia, Ctesipon, pada tahun 762 M.

Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu. Selain itu Baghdad juga sebagai pusat penterjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa Arab.[1]

Sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban, kehancuran Baghdad tentu memberikan dampak yang besar terhadap sejarah umat Islam. Jatuhnya kota Baghdad bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari kemunduran umat Islam. Ketika Baghdad hancur berbagai khazanah ilmu pengetahuan yang ada di sana juga ikut lenyap. Dikisahkan bahwa buku-buku yang ada dalam baitul hikmah dibakar dan di buang ke sungai Tigris sehingga airnya berubah yang asal mulanya jernih menjadi hitam karena tinta dari buku-buku tersebut.

Pokok Masalah

Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana kekhalifahan Bani Abbasiyah sebelum dihancurkan Mongol?
  2. Siapa bangsa Mongol?
  3. Bagaimana bangsa mongol menghancurkan Baghdad?
  4. Apa dampak dari serangan Mongol terhadap Peradaban Islam?

 

Kota Baghdad adalah ibu kota Negara pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Pada masa kejayaannya, kota Baghdad menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada masa khalifah ketiga, al-Mahdi, hingga khalifah kesembilan, al-Watsiq. Namun lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun anaknya.[2]

Khalifah al-Makmun membangun perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan tersebut dinamakan dengan Bait al-Hikmah. Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah biasa. Dua di antaranya yang paling penting adalah perguruan Nizhamiyah dan Muntashiriyah.[3]

Bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua, yaitu dimulai ketika masa khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah, di antaranya adalah :

 

  1. Lemahnya khalifah

Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukkan kelemahan politiknya.

  1. Persaingan antar bangsa

 Selain fanatisme karaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Sementara itu, khalifah mengangkat budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi tentara atau pegawai. Hal ini mempertinggi pengaruh mereka terhadap kekhalifahan. Ketika pada masa al-Mutawakkil, seorang khalifah yang dianggap lemah, kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang Turki dan khalifah hanya dijadikan sebagai boneka.

 

Berikut ini detik-detik runtuhnya Khilafah Abbasiyah dan jatuhnya Baghdad seperti yang direkam oleh Ibnu Katsir:[4]

  1. “Runtuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol (Tatar) tidak lepas dari pengkhianatan yang dilakukan oleh wazir (perdana menteri) Muhammad bin al-Alqami, seorang penganut paham Syi’ah yang sangat dendam terhadap Ahlussunnah. Ia menjabat wazir (Perdana Menteri ) bagi Khalifah al-Musta’shim Billah, khalifah terakhir Bani Abbas di Iraq.
  2. Ini terjadi pada tanggal 12 Muharram 656 H. Hulaghu Khan, cucu Jengghis Khan mengepung Baghdad dengan seluruh bala tentaranya yang berjumlah lebih kurang 200.000 personil. Mereka mengepung istana Khalifah dan menghujaninya dengan anak panah dari segala penjuru, hingga menewaskan seorang budak wanita yang sedang menari di hadapan Khalifah untuk menghiburnya. Budak wanita itu adalah seorang selir yang bernama Arafah. Sebilah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuhnya pada saat ia menari di hadapan Khalifah. Hal itu membuat cemas Khalifah dan ia amat terkejut. Pada anak panah yang menewaskan selirnya itu mereka dapati tulisan, “Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya maka Dia akan melenyapkan akal waras orang yang berakal.” Setelah kejadian itu Khalifah memerintahkan agar memperketat keamanan.
  3. Pengkhianatan Ibnul al-Alqami yang begitu dendam terhadap Ahlusunnah ini disebbakan pada tahun sebelumnya (655 H) pecah peperangan hebat antara kaum Sunni dan Syi’ah yang berakhir dengan direbutnya Kota Al-Karkh yang merupakan pusat kaum Syi’ah Rafidhah, beberapa rumah milik sanak famili Ibnu al-Alqami sempat kena jarah.
  4. Sebelum runtuhnya Baghdad, Ibnul al-Alqami secara diam-diam mengurangi jumlah tentara, yaitu dengan memecat sebagian besar tentara dan mencoret mereka dari dinas kemiliteran. Sebelumnya, jumlah tentara pada masa kekhalifahan al-Mustanshir mencapai 100.000 personil. Jumlah ini terus dikurangi oleh Ibnu al-Alqami hingga menjadi 10.000 personil saja.
  5. Kemudian setelah itu, barulah ia mengirim surat rahasia kepada banga Mongol dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Dalam surat tersebut dia beberkan kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbasiyah. Ini merupakan salah satu sebab begitu mudahnya pasukan Mongol menguasai Baghdad.
  6. Semua itu dilakukan oleh Ibnu al-Alqami untuk melampiaskan dendam kesumatnya dan ambisinya untuk melenyapkan sunnah dan memunculkan bid’ah Syi’ah Rafidhah.

 

Akibat dari kemunduran dinasti Bani Abbasiyah ini, membuat mereka sangat rentan terhadap serangan dari luar. Lemahnya para khalifah dan tidak adanya persatuan di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara mudah ditembus. Sehingga ketika Mongol menyerang Baghdad, mereka dapat dengan mudah menguasainya tanpa perlawanan yang berarti.

BANGSA MONGOL

Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan (Mongolia) yang membentang dari Asia Tengah sampai Siberia Utara, Tibet Selatan,  dan Mancuria Barat serta Turkistan Timur, bukannya bangsa  nomad stepa. Mereka merupakan salah satu anak rumpun dari bangsa Tartar. Nama Mongol diambil dari nama tempat asal mereka di Mongolia di mana mula-mula mereka tinggal. Sejarawan Cina beranggapan bahwa nama Mongol berasal dari bahasa Cina “Mong” (pemberani).[5] Badri Yatim mengutip dari Ahmad Syalabi menjelasakan bahwa nenek moyang bangsa Mongol bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tartar dan Mongol. Mongol mempunyai anak bernama Il-khan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol dikemudian hari.[6]

 

KEHANCURAN KOTA BAGHDAD

Puncak kehancuran baghdad terjadi pada tahun 1258, kehancuran ibukota mengiringi hilangnya hegemoni arab dan berakhirnya sejarah kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Meskipun faktor eksternal, serbuan kaum barbar (dalam kasus ini, Mongol dan Tartar)- begitu dahsyat. Nyatanya Cuma berperan sebagai senjata pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.[7] Faktor internal seperti banyak dijelaskan di bab awal lebih berperan sebagai sebab kehancuran.

 

 

Motif Serangan Mongol di Baghdad

1.   Faktor Politik

Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap wilayah Khawarizmi.

2.      Motif Ekonomi

Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya, menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang belum berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah berperadaban maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.

Demikianlah analisis singkat tentang kehancuran Baghdad sebagai Ibukota Khalifah Abbasiyah. Puing – puing kemegahan kota Baghdad sebagai pusat kajian khazanah keilmuan dan peradaban Islam tinggal kenangan. Selain berakhirnya kekuasaan ke khalifahan Abbasiyah juga menandai mundurnya peradaban Islam dalam percaturan Internasional. Pemusnahan naskah – naskah, manuscript  dan karya para ilmuan tidak hanya hancurnya Baitul Hikma tetapi juga lenyapnya karya – karya monumental para ilmuan terdahulu. Hingga saat ini, ketimpangan pengetahuan begitu terasa ketika literasi- literasi karya ilmuan muslim begitu langkah bahkan bisa dikatakan punah.

 

 

Daftar Pustaka

 

Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2010),

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),

Philip. K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamat Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005)

Majalah As-Sunnah Edisi 7 Tahun XV 1432 H/2011 M

M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah ( Yogyakarta: Bagaskara, 2006).


[1] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2010), hlm.147.

[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 281

[3] Philip. K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamat Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 369.

[4] Majalah As-Sunnah Edisi 7 Tahun XV 1432 H/2011 M

[5] M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah ( Yogyakarta: Bagaskara, 2006), hlm.28.

[6] Badri Yatim, Sejarah, hlm.111

[7] Hitti. History. h. 616


Bingkai Pertanyaan?

Dalam Periodisasi Sejarah Islam

 

 

  1. Pengertian Babakan Waktu

Pembabakan waktu atau periodisasi adalah salah satu proses strukturisasi waktu dalam sejarah dengan  pembagian atas beberapa babk, zaman atau periode. Peristiwa-peristiwa nasa lampau yang begitu banyak dibagi-bagi dan dikelompokkan menurut sifat, unit, atau bentuk sehingga membentuk satu kesatuan waktu tertentu.

Pembagian babakan waktu merupakan inti cerita sejarah. Pembabakan atau periodisasi waktu adalah pembagian ats dasar pengelompokkan, babakan zaman dan waktu tertentu didalam cerita sejarah. Jadi babakan waktu dibagi atas beberapa babak, zaman atau beberapa periode. [1]

2.  Tujuan Babakan Waktu Adapun tujuan pembabakan waktu ialah;

a. Memudahkan pengertian

Gambaran peristiwa- peristiwa masa lampau yang sedemikian banyak itu dikelompok-kelompokkan. Disederhanakan dan diikhtisarkan menjadi satu tatanan (Orde). Sehingga memudahkan pengertian.

b. Melakukan penyederhanaan

Gerak pikiran dalam usaha untuk mengerti ialah melakukan penyederhanaan. Begitu banyaknya peristiwa-peristiwa sejarah yang beraneka ragam dan bersimpang siur itu sukar atau ruwet disusunnya menjadi sederhana, sehingga pikiran mendapatkan ikhtisar yang mudah diartikan. (Hugiono, et.al., 199:54).

c. Mengetahui peristiwa sejarah secara kronologis.

Menguraikan peristiwa sejarah secara kronologis akan memudahkan pemecahan dari masalah. Interpretasi serata analisis sejarah dan masalah pengukuran waktu. Ahli kronologi menerangkan berbagai tarikh, atau sistem penanggalan yang telah dipakai diberbagai tempat dan pada berbagai waktu serta memungkinkan kita untuk menterjemahkan penanggalan dari satu tarikh ke tarikh yang lain.

 d. Untuk memenuhi persyaratan sistematika ilmu pengetahuan.
Semua peristiwa-peristiwa masa lampau itu setelah dikelompokkan antara motivasi dan pengaruh peristiwa itu kemudian dikaitkan  lalu disusun secara teratur atau sistematis.

 e. Memudahkan klasifikasi dalam ilmu sejarah.

Klasifikasi dalam ilmu sejarah meletakkan dasar babakan waktu. Masa lalu  yang tidak terbatas peristiwa dan waktunya dipastikan isi bentuk dan waktunya menjadi bagian-bagian babakan waktu. (Hugiono, et.al., 199:55).[2]
          Klasikasi-klasifikasi diatas atas dasar keanekaragaman peristiwa. Babakan waktu merupakan cerminan pandangan hidup penyusun. Kepribadian penyusun tampak didalamnya. Dangkal, dalam, luas atau sempit pengetahuan penyusun tampak dari babakan waktu yang dibuatnya.
Dengan babakan waktu akan jelaslah kerangka cerita yang merupakan penjelmaan pandangan hidup dasar filsafat serata tafsiran sejarawan. Sebab tanpa penjelasan dan tafsiran, fakta-fakta masa lalu akn menjadi kronik,anal atau catatan-catatan peristiwa.

Ibnu Khaldun (1332-1406)
    Dalam bukunya “Mukaddimah Prolegomenah”, beliau menyusun pembabakan sejarah sebagai berikut:
a)    Zaman Nomade
b)    Zaman dimana tempat kediaman telah menetap
c)    Zaman puncak kebudayaan yang tinggi dan mulai menurun hingga sesudah mencapai waktu 200 tahun mulai yang baru lagi.[3]

Periodesasi Sejarah Islam.

Dinamika Islam di mulai dari periode awal kemunculannya sampai sekarang, telah tercatat dalam sejarah dunia. Berbagai peristiwa penting yang terjadi memberi warna bagi perkembangan kehidupan umat, khususnya dalam syiar Islam.

Sejarah perkembangan peradaban Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. periode Klasik (650 – 1250 M),
  2. periode Pertengahan (1250 – 1800 M)
  3. dan periode Modern (1800 – sekarang).

Yang dimaksud abad pertengahan ialah tahapan sejarah umat Islam yang diawali sejak tahun-tahun terakhir keruntuhan Daulah Abbasiyah (1250 M ) sampai timbulnya benih-benih kebangkitan atau pembaharuan Islam yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 1800 M.Periode pertengahan ini juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu masa kemunduran I (1250 – 1500 M) dan masa tiga kerajaan besar (1500-1800 M). B. MASA KEMUNDURAN I (1250 -1500 M.)[4]

Pada Tahun 570 M Nabi Muhammad SAW lahir di Mekah, sebuah kota yang amat penting dan terkenal di Semenanjung Arabia pada masa itu. Nabi Muhammad SAW berasal dari Bani Hasyim, kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dikenal dengan nama “Tahun Gajah”, karena bertepatan dengan datangnya pasukan gajah yang dipimpin Abrahah (gubernur kerajaan Habsyi di Yaman) menyerbu Mekah untuk menghancurkan Ka’bah dan memindahkan pusat kegamaan ini ke negerinya.

Ada sebagian pendapat sejarawan awal mula periodesasi dalam sejarah islam di mulai pada Tahun 622 M Karena perlakukan kaum Quraisy semakin kejam terhadap kaum muslimin di Mekah, maka Nabi SAW segera memerintahkan para sahabat dan pengikutnya untuk hijrah ke Yatsrib (yang kemudian disebut Madinaturrasul). Setelah Nabi SAW tiba dan diterima penduduk Madinah, Nabi SAW menjadi pemimpin kota itu. Ia meletakkan dasar-dasar kehidupan yang kokoh, antara lain dengan menetapkan Piagam Madinah bagi pembentukan suatu masyarakat baru yang biasa disebut “negara Madinah”. Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam semakin bertambah kuat.[5]

Karena Pada tahun 622 M ini pula tahun Hijriah ditetapkan penanggalan, awal zaman Islam. Awal tarikh Hijriah terhitung sejak Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah pada 622 M. Penetapan tahun Hijriah ditentukan belakang oleh Khalifah Umar pada 17 H/638 M dengan mendengar usulan para sahabat. Dari berbagai usulan yang muncul, Umar menerima usulan Ali bin Abi Thalib yang mengangkat peristiwa hijrah Nabi SAW dari Mekan ke Madinah sebagai awal tahun Islam. Alasannya, hijrah merupakan titik pemisah antara masa Mekah dan masa Madinah, dan merupakan momentum terbesar perjuangan Nabi SAW dalam menyebarkan Islam.

Kemudian pada tahun 624 M terjadinya puncak pertikaian antara kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy ditandai dengan perang pada 17 Ramadhan 2 H/624 M yang terjadi di Wadi Badar, 125 km selatan Madinah. Perang ini dikenal dengan nama Perang Badar.

Dilanjutkan pada tahun 625 M dengan meletusnya perang di Bukit Uhud dan disebut Perang Uhud. Perang ini disebabkan keinginan balas dendam kaum musyrikin Quraisy Mekah yang kalah dalam Perang Badar. Awalnya pasukan muslim berhasil membuat tentara Quraisy mundur, namun karena kelalaian pasukan muslim, terjadi serangan balik yang membuat pasukan Islam terjepit sehingga Hamzah bin Abdul Muthalib yang dijuluki “Singa Allah” terbunuh.

Dikalangan sejarawan terdapat perbedaan tentang saat dimulainya sejarah Islam. Secara umum, perbedaan pendapat itu dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, sebagian sejarawan berpendapat bahwa sejarah Islam dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul. Oleh karena itu, menurut pendapat pertama ini, selama tiga belas tahun Nabi Muhammad tinggal di Mekah,telah lahir masyarakat Muslim meskipun belum berdaulat. Kedua, sebagian sejarawan berpendapat bahwa sejarah umat islam dimulai sejak Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, karena masyarakat Muslim baru berdaulat ketika Nabi Muhammad Saw tinggal di Madinah. Nabi Muhammad tinggal di Madinah tidak hanya sebagai seorang rasul, tetapi juga sebagai pemimpin atau kepala Negara berdasarkan konstitusi yang disebut dalam Piagam Madinah.[6]

Disamping perbedaan mengenai awal sejarah umat Islam, sejarawan juga berbeda pendapat dalam menentukan fase-fase atau periodisasi sejarah Islam. Ada dua periodisasi sejarah Islam yang dibuat oleh sejarawan Indonesia, yaitu A. Hasymy[7] dan Harun Nasution[8]

 

 

Sumber Referensi

Hugiono,Drs, dan Poerwantana,Drs PK.1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Rineka Cipta.

Tamburaka,H. Rustam E. Prof. Drs., MA.1999. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat & IPTEK. Jakarta:Rineka Cipta

Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. PT. Remaja Rosdakarya Bandung, Edisi revisi tahun 2010

A Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1978

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press 1985

Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Mesir: Mushtafa Muhammad

http://sejarahperkembangandandinamikaislamdidunia(dari570sampaisekarang)


[1] Tamburaka,H. Rustam E. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat & IPTEK. Jakarta:Rineka Cipta 1999

[2] Hugiono, Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Rineka Cipta. et.al., 199:55

[3] Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Mesir: Mushtafa Muhammad

[4] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya di kutip dari Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. PT. Remaja Rosdakarya Bandung. h. 137

[6] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. PT. Remaja Rosdakarya Bandung, Edisi revisi tahun 2010 h. 138

[7] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1978

[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press 1985

Menelusuri Jejak Islam di Seoul Central Mosque


Menelusuri Jejak Islam di Seoul Central Mosque

 

Penduduk Korea Selatan mayoritas beragama Budha, namun bukan berarti kita tidak dapat menemukan jejak-jejak Islam di negara ini. Temukan atmosfer kehidupan muslim di Seoul Central Mosque yang berada di Itaewon, Seoul, Korea Selatan. Masjid ini adalah masjid pertama dan satu-satunya di Seoul sekaligus masjid terbesar diKorea.

Seoul Central Mosque yang dibuka untuk pertama kalinya pada tanggal 5 Mei 1976 ini tepatnya berada di distrik Yongsan-gu. Selain menjadi pusat agama Islam, masjid ini juga merupakan kebanggaan lebih dari 45 ribu masyarakat Korea asli yang memeluk Islam sejak lama. Masjid ini dalam bahasa Arab bernama Masjid Si’ul Al Markaz, namun petunjuk jalan yang dibuat oleh pemerintah setempat menuliskannya dengan bahasa Inggis yakni Seoul Central Mosque. Arsitekturnya yang khas membuat wisatawan akan dengan mudah mengenali masjid ini. Di pintu utama terdapat tulisan “Allahu Akbar” menggunakan huruf Arab yang cukup besar. Bagi masyarakat setempat dan pemeluk non muslim, masjid ini merupakan titik destinasi wisata karena keindahan arsitekturnya. Apalagi Seoul Central Mosque ini terletak antara Namsan danHanRiver.

Bangunan yang terdiri dari 3 lantai ini umumnya memiliki tempat terpisah untuk wanita dan pria. Masjid ini tidak hanya menyediakan tempat untuk sholat berjamaah namun juga terdapat beberapa ruangan lain seperti kantor, ruang kelas, ruang rapat dan ruang konferensi. Bahkan ada penginapan yang sering dipakai para pekerja asing untuk menginap. Perluasan bangunan ini dilakukan pada tahun 1991 setelah pengelola setempat mendapatkan sumbangan dari pemerintah Arab Saudi sebesar 3,5 miliar Won.

Seperti layaknya masjid yang berdiri di negara berpenduduk non-muslim, Anda yang menyempatkan datang akan melihat bahwa masjid ini didatangi oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang negara yang berbeda. Seperti Mesir, Libya, Suria, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Turki dan tentu saja Indonesia. Mereka pada umumnya adalah para pekerja asing yang mengadu nasib di Korea Selatan. Ada juga penduduk asli keturunan para mualaf yang masuk ke Korea saat Perang Korea. Pada saat bulan Ramadhan, masjid ini akan semakin ramai oleh kegiatan keagamaan dan acara buka serta sahur bersama. Sama seperti di Indonesia, pengelola masjid juga menyediakan hidangan untuk para jamaah. Jadi Anda tak perlu ketakutan kelaparan jika mengunjungji Seoul Central Mosque saat bulan puasa.

Masjid ini juga menjadi jujugan para wisatawan yang ingin menunaikan sholat Jumat. Setiap hari Jumat paling tidak ada 800 jemaah yang melaksanakan sholat. Menyadari bahwa jamaah sholat Jumat di masjid ini berasal dari berbagai negara, maka khutbah Jumat akan diberikan dalam 2 bahasa sekaligus yakni bahasa Arab dan bahasa Inggris. Nah, Jika Anda datang jauh sebelum sholat Jumat dilaksanakan, Anda bisa berjalan-jalan mengitari kawasan ini yang dipenuhi toko-toko penjual pernik-pernik umat muslim seperti buku, CD dan perangkat sholat yang kebanyakan dijual oleh warga Pakistan. Daerah ini juga menyediakan Iteawon Night Market yang terletak di dekat kawasan masjid. Pasar yang dibuka pada malam hari ini menyediakan berbagai barang, baju dan asesoris seperti kaus kaki, anting-anting, gelang, kalung dan beberapa fashionitemlainnya.

Uniknya, lokasi Seoul Central Mosque ini berada di dekat basis militer AS di Korea Selatan. Jadi jangan heran jika Anda akan melihat sekelompok tentara Amerika hilir mudik di kawasan ini.

 

JAQUES DERRIDA : TEORI DEKONSTRUKSI


 

PENDAHULUAN

Jika dilihat dari periodesasi perkembangan sejarah filsafat Ada tiga babakan dalam filsafat yang umum, yaitu filsafat pada masa Yunani kuno yang didominasi oleh rasionalisme, abad tengah didominasi agama Kristen dan filsafat abad modern didominasi oleh rasionalisme. Ketika itu sudah ada muncul jenis filsafat baru yaitu disebut sebagai filsafat kontemporer (contemporary philosophy). Periode keempat ini disebut filsafat pasca modern (postmodern philosophy), juga dikenal dengan sebutan filsafat postmo.

Problematika dunia filsafat kontemporer sering dikatakan masuk dalam era postmodern meliputi beberapa persoalan besar seperti klaim bahwa bahwa filasafat telah berakhir, rasionalitas tunggal universal tunggal tidak mungkin lagi dan epistimologi tidak perlu lagi.[1]

Lahirnya berbagai gerakan filsafat era postmodern ini dipicu dari ketidak mampuan narasi besar sains dan sistem kapitalisme yang bertahan sejak diinspirasikan oleh Descrates dan mampu membawa manusia pada kemajuan teknologi yang mengancam.[2]

Sebagai gambaran atas problematika hasil pemikiran filsafat modern pertama pandangan dualistiknya yang memandang keseluruhan subjek dan objek, spiritual dan material manusia dan dunia mengakibatkan ekspoitasi kekayaan alam atas pemenuhan kebutuhan individu golongan bahkan bangsa. Kedua pandangan dualistik dan positivistik akhirnya menjadikan manusia sebagai objek dan masyarakat dijadikan sebagai mesin ketiga moderenisasi ilmu-ilmu menjadi standarisasi tertinggi kebenaran. Ke empat materialism yang melahirkan persaingan bebas dan kelima militerisme Dan bangkitnya tribalisme.[3]

Demikian beberapa konsekwensi negative dari hasil pemikiran modern yang oleh  Bambang Sugiarto[4] memicu gerakan filsafat kontemporer atau postmodern yang ia klasifikasikan mejadi 3 katagori aliran filsafat kontemporer. Pertama pemikiran yang cenderung merevisi filsafat modern kearah pramodern mereka dikenal dengan sebutan filosof metafisika new age. Mereka muncul diwilayah fisika baru dengan sebutan “holism”. Beberapa tokohnya diantaranya F. Capra, J. Lovelock, Garry Zukav, Prigogin dll.

Kedua segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme dengan tidak menolak secara total moderenisme itu sendiri, ia hanya merubah premis-premis modern. misalnya mereka tidak menolak sains pada dirinya sendiri melainkan sains hanya merupakan sebuah ideologi dimana kebenaran ilmiahlah dianggap yang paling sohih. Salah satu kelompok yang terkuat dalam dalam mengengembangkan gerakakn ini adalah A.N Whietehead diikuti oleh David Ray Grifin, J.Cobbnya, Jr. David Bohm dll.

Ketiga pemikiran-pemikiran yang terikat pada dunia sastra dan banyak yang membahas persoalan linguistik dimana kelompok ini memperkenalkan pemikirannya dengan kata kunci dekonstruksi. Pada awalnya strategi dekonstruksi ini untuk mencegah totaliterisme  pada segala sistem namun akhirnya jatuh kedalam relativisme dan nihilism, beberapa tokoh pengusung dekonstruski ini adalah Derrida, Focoult, Vatimo, lyotard dll.

Melihat dari kecenderungan perkembangan gerakan filsafat diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dimana sebenarnya filsafat rasionalitas kontemporer barat dan kemana arah pemikiran filsafat kontemporer ?.Dalam makalah ini penulis tertarik untuk mengkaji filsafat kontemporer lebih dekat lagi dengan salah satu tokohnya  yakni Jaques Derrida.

SEKILAS BIOGRAFI DERRIDA

Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tangggal 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia berpindah ke Perancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia mengajar di École Normale Supérieure di Paris.  Orang tuanya yang bernama Aimé Derrida dan Georgette Sultana Esther Safar, menikah pada tahun 1923 dan pindah ke St.Agustinus di Aljazair pada tahun 1925. Pada tahun yang sama Rene Derrida (anak Aimé dan Georgette) lahir dan empat tahun kemudian Paul Derrida (adik Rene) lahir. Namun tiga bulan kemudian Paul meninggal. Pada tahun 1930 Jackie Derrida lahir. Di kemudian hari ia menyebut dirinya “Jacques”.Sepanjang hidupnya ia curiga bahwa ia hanya menjadi pengganti atau pelengkap ketiadaan Paul, kakaknya.  Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Ia pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Pada tanggal 9 Oktober 2004, ia meninggal dunia di usia 74 tahun karena penyakit kanker.[5]

Sedangkan latarbelakang pemikiran Derrida sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Buku pertama Derrida adalah menerjemahkan karya Husserl yang berjudul The Origin of Geometry. Di dalam bukunya yang berjudul Of Grammatology, Derrida menyampaikan pandangannya terhadap pemikiran Saussure mengenai definisi bahasa. Ia mengatakan bahwa Saussure memberikan esensi manusia kepada bahasa. Logosentrisme dan fonosentrisme adalah paham yang berusaha dikritik Derrida. Menurutnya kelemahan logosentrisme adalah menghapus dimensi material bahasa, dan kelemahan fonosentrisme adalah menomorduakan tulisan karena memprioritaskan ucapan.[6]

Pada tahun 1987 Derrida mengeluarkan kumpulan esainya dalam teks yang berjudul Pshyche. Dasar dari risalat ini adalah untuk menyatakan seberapa besar kemungkinan untuk membicarakan (yang Lain). Menurut Derrida, sikap yang tepat terhadap (yang Lain) adalah menunggu, menginginkan, dan bersiap bagi masa depan, yaitu dari mana (yang lain) itu berasal (Yang Lain) tidak berasal dari masa kini. Untuk menjelaskan mengenai sikap menunggu dan bersiap, Derrida kembali mengutip dari tulisan sebelumnya yang berjudul structure dan Sign and Play. (Yang Lain) itu datang sebagai bencana, tidak peduli baik atau buruk, kedatangannya akan terlalu asing untuk dihasilkan oleh realita.[7]

SEKILAS PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT

Dalam hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik tolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M.) terhadap pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan terbuka-bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta mengalami pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita bisa melihat dengan mata telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di Barat, yang dominan pengaruhnya untuk rujukan primer, guna melanjutkan masyarakat mereka itu.

Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak. Namun yang paling menonjol diantaranya ada tiga aliran :

Pertama, tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional. Oleh sebab itu, sejarah ilmu tidak lagi merupakan ungkapan pemikiran; akan tetapi, melalui suatu konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka intelektual dengan maksud memaham pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris masa kini dari masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa lalu tidak bisa dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di era sekarang, masa lalu itu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa sekarang.

Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental. Menurut Foucault, di sisi lain, pemikir berkarakter rendah hati dan low profil ini sangat memiliki pengaruh pada pendekatan struktural terhadap sejarah, marxisme dan psikoanalis.

Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis dan pan-sexualis. Meskipun begitu, dunia berhutang atas kecermelangannya dalam menemukan psikoanalis melalui analisis terhadap gejala-gejala, yang sampai pada saat itu (masa hidup frued), dianggap sebagai hal yang teranalis seperti mimpi dan selip lidah (igau). Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.), dan masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya.

Tipologi kedua, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya bersifat emansipatoris, tepatnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern’. Dalam hal ini, Marx dipresentasikan dengan lebih elegan, bahkan sesekali mereka mengecam tanpa santun kepada pendahulunya itu. Mereka menganggap bahwa marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan “Rasionalitas Sistem” dan “Rasionalitas aksi”, sebagai bukti konkrit tidak selarasnya antar sistem dan kehidupan.

Post-marxisme menerima dengan sadar keterlibatan politik Marx, tetapi menolak mentah-mentah penekanan Marx bahwa ekonomi adalah yang paling menentukan untuk suatu kesejahteraan. Statement ini, menurut mereka sudah tidak relevan, harus dikembangkan lebih jauh-luas secara konkrit melalui stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan merujuk pada ruh emansipatoris di dalamnya.

Tipologi ketiga, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Sausure akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.
Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam post-strukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut filsafatnya sebagai filsafat destruktif.

Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida (1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi al-Kitabah. George Batailk, Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis yang tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini.

ISU KONTEMPORER FILSAFAT BARAT

Dalam tulisanya Bambang Sugiharto membahas tiga persoalan besar yang dihadapi filsafat kontemporer yaitu isu tentang berakhirnya Filsafat, pluralisme dalam hal rasionalitas dan permainan bahasa dan kematian epistimologi.[8]

Persoalan pertama dalam filsafat tentang berakhirnya filsafat atau matinya filsafat dalam pandangan Derrida bertolak dari ketidak mampuan filsafat dalam menjelaskan persoalan sain dan ilmu pengetahuan.

Teori dekonstruki yang dipopulerkan oleh Derrida pada awalnya istilah tersebut  digunakan oleh Heidegger ketika ia berkata bahwa , …Konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus serentak destruksi yaitu dekonstruksi konsep-konsep traditional dengan cara yaitu kembali ke tradisi…”.[9]

Menurut Sugiharto dekonstruksi biasanya dirumuskan sebagai cara atau metode membaca teks unsur terpenting dari kerangka filosofis yang oleh beliau dipahami sebagai cara atau metode membaca secara dekontruktuf.[10] Pemahaman tersebut sejalan dengan teori dekontruktif Derrida dari sebuah karyanya Margin of Philosophy yang mengatakan bahwa “ dibalik teks filosofis yang terdapat bukanlah kekosongan melainkan sebuah teks lain, suatu jaringan kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tak jelas”.[11]

Dalam karya yang lain “positions” secara skematik teori dekonstruksi Derrida terdiri dari 3 langkah, pertama mengidentifikasi hierraki oposisi dalam teks yang biasanya terdapat peristilahan yang diistimewakan secara sistematik. Kedua oposisi-oposisi tersebut dibalik dengan menunjukan adanya saling ketergantungan diantara yang saling berlawanan itu sekaligus mengusulkan privilese secara terbalik. Ketiga memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang tidak bisa dimasukan dalam katagori lama.[12]

Sampai disini nampak bahwa menurut pemahaman Derrida bahwa persoalan Filsafat selalu berkaitan dengan dengan suatu sistem metafor ini terungkap dari perkataannya, “bila saja orang bisa mereduksi segala metaphor kedalam metafor “pokok” maka tak akan ada lagi metafor benar selain metafor pokok itu sendiri”.[13]

Namun dalam pandangan Richard Rorty gagasan Derrida tentang pemilahan tersebut mirip dengan pemilahan hubungan inferensial antar kalimat di satu pihak dan asosiasi non inferensial antara kata dipihak lain. Yang pertama meletakan kunci makna pada kalimat, sedangkan yang ke dua meletakannya pada satuan kata.[14]

Permasalahan yang menajdi isu filsafat kontemporer yang berupaya mencari argumentatif yang mampu mencari syarat-syarat mendasar dari sebuah pemikiran akhirnya bertumpu pada paradox dan merupakan sebuah tantangan dalam filsafat itu sendiri.

Kedua persoalan yang menjadi focus dari kajian filasafat Derrida tentang rasionalitas dan pluralism. Pernyataan tentang berkhirnya filsafat pada gilirannya mengandaikan kritik mendasar atas konsep tentang rasionalitas itu sendiri zaman Imanuel Kant.  Rasionalitas kekinian cenderung dianggap amat terkait dengan bahasa.Rasionalitas kini tidak bersifat mutlak dan universal melainkan bersiafat sementara dan konvensional.[15]

Pluralitas permainan bahasa dan bentuk kehidupan (budaya) diangap sebagai landasan titik berangkat pemikiran post modern. keadaan seperti ini sebagaimana pandangan Lyotard tentang moderenisme adalah tendensi untuk melegitimasikan tiap bentuk pengetahuan melalui meta wacana atau narasi besar  seperti kemajuan, kebebasan akal, emansifasi. Post modernism sebaliknya menyarankan untuk kembali kepada pragmatika bahasa ala Wittgenstein yakni dengan mengakui bahwa kini kita hidup dalam berbagai permainan bahasa yang sulit berkomunikasi secara adil dan bebas.[16]

Namun demikian sekalipun antara Rorty dan Lyotard sama dalam memahami pluralistik bahasa sebagai problem filsafat namun keduanya bebeda dalam memberikan pemaknaannya, dalam hal ini bagi Lyotar prinsip dasar yang berlaku bukanlah universalitas akal atau kesepakatan namun justru kebutuhan untuk memongkar kesepakan-kesepakatan yang telah mapan (narasi besar) untuk memberikan penghargaan terhadap narasi kecil (lokal) untuk tampil dalam percaturan bahasa. Namun bagi Rorty sekalipun mempunyai kesamaan ingin melepaskan diri dari narai besar atau meta-wacana namun perbedaan budaya dan bahasa tidak ditempatkan dalam ruang antagonistik dan tidak terjembatani.[17] Namun sampai sini ia pun belum mampu memberikan secara jelas bagaimana secara jelas permainan bahasa tersebut dapat melahirkan universalitas bahasa.

Ketiga pernyataan filsafat kontemporer tentang  tumbangnya efistimology dalam mengetahui hakikat pengetahuan pada dasarnya berangkat dari kritik atas rasionalitas dan keterukuran (commensurability) yang menempatkan keterbatasan manusia yang ditempatkan sebagai subjek dalam hubungannya dengan dunia yang membawa konsekwensi tentang Kebenaran. [18]

Kritik terhadap konsep efistimologi sebagai kebenaran yang diistilahkan oleh Rorty sebagai fondasinalisme akhirnya jatuh pada pragmatism yakni memandang bahwa kebenaran adalah hanyalah sebuah nama untuk ciri yang dimiliki oleh semua pernyataan yang benar.[19] Jadi dalam pandangannya kebenaran adalah sebuah alat pengesahan bagi keyakinan yang terbukti berguna dan tidak membutuhkan pengesahan yang lain.

Lain halnya dengan Heideggerian yang menyatakan bahwa kebenaran bukan sesuatu konsep yang sesuai dan kenyataan obyektif melainkan tersingkapnya Sang Ada (lichtung der sein) yaitu peristiwa dimana hakikat segala sesuatu itu muncul tiba-tiba muncul menampilkan diri dan itulah kebenaran[20]

Bagi Merleau-Ponty kebenaran bukan kenyataan sesuatuatu yang benar-benar terjadi namun lebih dipahami sebagai kemasukakalan (reasonableness) segala upaya untuk mencari kesepakatan melalui dialog yang bebas.[21]

Berbeda dengan Heidegger Dan Merleau-Ponty, Michel Foucault melihat sisi lain dari kebenaran sebagai kekuasan. Baginya kebenaran itu pada dasarnya selalu terkait rumit dengan keinginan dan kekuasaan.[22] Kekuasaan adalah suatu jaraingan atau medan hubungan-hubungan dimana subjek merupakan produk sekaligus agen kekuasaan.

Dari penolakan terhadap efistimologi modern tersebut melahirkan berbagai macam pandangan tentang kebenaran  ada yang melihat kebenaran sebagai pragmatism sesuatu kebaikan aktual yang memungkinkan aktualisasi yang lebih baik lagi, ada yang secara hermeunetik yakni tersingkapnya makna terdalam dari realitas atau sebagai jaringan kekuasaan .

JAQUES DERRIDA DAN TEORI DEKONSTRUKSI

Dari beberara diskursus diatas nampaknya kajian filsafat kontemporer banyak tertarik pada tema-tema bahasa seperti semilogi, strukturalisme, post strukturalisme, filsafat bahasa seharihari, teori speech-act atau hermenetika, dimana seratus tahun yang lalu kunci dari kajian filsafat tidak terlepas dari akal, roh, pengalaman dan kesadaran.[23]

Secara perlahan-lahan bahasa berkembang menjadi tema sentral dapat dilihat dari tematis logis (bukan historis kronologis). Pertama pada masa Frege, Husserl, Wittgenstein dan Carnap bahasa meminjam istilah Derrida dijadikan sebgai logosentris yakni dimensi-dimensi dasar bahasa diangap hanya tampil dalam fungsi-fungsi logisnya misalnya dalam penilaian (baik dan buruk), pernyataan (salah –benar) dan representasi (etika politik sebagai tanggung jawab). Kedua dalam tahun 50-han Wittgenstein memunculkan filsafat bahasa sehari-hari (Speech-Act). Ketiga filsafat yang  terpengaruh oleh perkembangan di luar filsafat itu sendiri yaitu diwilayah susastera dan kritik teks, bahasa dilihat dari nilai instrintiknya dikaji ulang hakikat dan fungsinya.[24]

Dari kajian tematik ketiga ini yang diperkenalkan oleh Heidegger, Derrida dan Ricoeur menjadi kajian yang banyak menarik perhatian untuk mengkaji filsafat kontemporer pada mulanya berpokus pada logika kemudian pada kehidupan dan akhirnya pada susastera dan bidang metafor.[25]

Dari Heideggerl-ah kemudian Derrida terinspirasi untuk menarik metafor sebagai kajian filsafat kontemporer ke titik radikalnya yaitu mendestabilisaskan segala bentuk skema katagori dan konseptual dengan menggali segala bentuk permaianan dan pemilahan yang tersembunyi dibalik teks.[26]

Dalam salah satu essaynya “White Mythologi dan “Retrait Of Metaphor” Derrida tidak mengaitkan bahasa pada “Ada” seperti halnya Heiddegger melainkan pada permainan perbedaan. Permainan ini seallu ada dalam setiap teks karena menurutnya setiap teks senantiasa dibangun dalam permaian perbedaan.[27]

Lebih jauh Derrida menyatakan metafor adalah konsep metafisik yaitu perbedaan antara yang literal dengan yang metaforis bersandar pada sebuah anggapan bahwa pada dasarnya terdapat arti baku bagi setiap kata dan terdapat perbedaan antara yang indrawi dan non indrawi. Jika metafor ini terkait erat dengan metafisika maka untuk mendekonstruksikannya kita harus menghancurkan anggapan metafor itu dari metafisikanya sendiri maka yang rasional menurutnya adalah transpormasi diri penulisan filsafat itu sendiri.[28]

Didalam essaynya “White Mythology”  Derrida memperlihatkan bahwa metafor sebetulnya dibentuk oleh keseluruhan jaringan konsep dan assosiasi yang digunakan dalam wacana. Heidegger mensyaratkan bahwa kita senantiasa tinggal dalam bahasa tetapi Derrida sebaliknya bahwa kita senantiasa bergerak dalam bahasa yang tidak stabil, karena menurutnya baik metafor atau bukan metafor akhirnya hanya merupakan pasangan-pasangan lawan kata secara semantik.[29]

Sedangkan dalam “The Retrait of Metaphor”, Derrida menafsirkan gagasan Heidegger tentang Metafor yang mengartikan membaca teks dengan menangkap arti teks dengan teks lainnya dan seterusnya menanarik semua teks tersebut kearah istilah kunci.[30] Konsep pemaknaan ini terkena

Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu”. Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas.[31]

Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam pemikiran Heidegger. Kata dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti “untuk menunda”-sinonim dengan kata men-dekonstruksi. Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida, yaitu: pertama, dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan; kedua, dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu kata, alat, atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi.

Dalam teori dekonstruksinya Derrida menunjukkan kelemahan dari ucapan untuk mengungungkapkan makna dengan menggunakan kata difference dengan kata differance berasal dari kata difference yang mencakup tiga pengertian, yaitu [32]

  1. to differ— untuk membedakan, atau tidak sama sifat dasarnya;
  2. differe (Latin)– untuk menyebarkan, mengedarkan;
  3. to defer— untuk menunda.

Dalam pengucapannya tidak terdengar perbedaan tetapi perbedaan pemakaian huruf ‘a’ untuk mengganti huruf ‘e’ hanya terlihat dalam tulisan. Ini dilakukan Derrida untuk menunjukkan peleburan makna dari tiga pengertian dalam kata difference yang tidak dapat dilakukan oleh logosentrisme dan fonosentrisme. Melalui tulisan terjadi otonomisasi teks.Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas Menurut Derrida bahasa bersumber pada teks atau “Tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang maksimal karena tulisan tidak hanya terdapat dalam pikiran manusia, tetapi konkret di atas halaman.Tulisan memenuhi dirinya sendiri karena Tulisan terlepas dari penulisnya begitu ia berada di ruang halaman. Ketika dibaca, Tulisan langsung terbuka untuk dipahami oleh pembacanya.

Demikianlah Derrida menempatkan kajian bahasa pada titik yang lebih radikal yang menurut dimana menurut Sugiharto menghantarkan pemahaman kita pada suatu pemahaman bahasa yang pada akhirnya  hanya sebagai teori transcendental tentang hakikat tekstualitas. Sedangkan dari kubu pragmatism yang memandang persoalan metafor diwakili oleh Rorty sebagai pseudo problem alias persoalan palsu yakni hanya persoalan verbal belaka.[33]

Namun demikian nampaknya teori dekontruksi yang ditawarkan Derrida layak juga ditempatkan pada suatu tempat yang memberikan jalan alternative dari pengembaraan filsafat ataupun suatu keterkungkungan rasionalitas bahkan kepastian efistimologi sekalipun dengan menampilkan keagungan bahasa yang mencari makna tedalamnya dengan caranya sendiri.

KESIMPULAN

Memahami tiga isu kontemporer dalam dunia filsafat barat nampaknya problem yang terpenting yang dihadapi filsafat barat adalah ketidakmampuan rasionalitas manusia dalam menjabarkan problemnya sendiri dari keterbatasan bahasa konseptual dan logika faktual yang tak biasa di jabarkan melalui bahasa literal maupun metaforis oleh sebab itu konsep dekonstruksi Derrida nampaknya hanya dapat membantu memberikan pengungkapan tabir kematian filsafat, kearifan rasionalitas serta ketegangan efistimologi.

 

 


[1] Bambang  Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, hlm, 18

[2] Ibid, hlm 29

[3] Ibid, hlm, 30

[4] Ibid.,

[5] http//wikipedia,. com

[6] Ibid

[7] ibid

[8] Bambang, hlm  43

[9] Ibid

[10] Ibid.,  hlm, 44

[11] Ibid.hlm , 45

[12] Ibid, hlm , 46

[13] Ibid

[14] Bambang  Sugiarto, 49-50

[15] Ibid, hlm, 58

[16] ibid

[17] Ibid, hlm  59

[18] Ibid, hlm  67

[19] Ibid,  hlm 74

[20] Ibid, hlm  75

[21] Ibid, hlm  76

[22] Ibid

[23] Ibid, hlm,  80

[24] Ibid, hlm,  81

[25] ibid

[26]  Ibid, hlm, 83

[27] Ibid, hlm, 131

[28] Ibid, hlm, 132

[29] Ibid, hlm, 132

[30] Ibid,.

[31] http//wikipedia,. com

[32] ibid

[33] Bambang  Sugiharto, hlm 133,

SATU TAHUN ARAB SPRING : DEMOKRASI ATAU ISLAM ?


 

Abstrak

Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: The Arab Spring; bahasa Arab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah. Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan pengunjuk rasa pro-pemerintah. Slogan pengunjuk rasa di dunia Arab yaitu Ash-sha`b yurid isqat an-nizam.

Keyword          : Arab Spring, revolusi, demonstrasi

  1. A.                 Pendahuluan            

Ketika peristiwa di Mesir mulai berkembang pada akhir Januari 2011, laporan-laporan awal dari kebanyakan saluran berita adalah terjadinya protes ‘Anti-Mubarak’, dan hal ini adalah pandangan yang didorong oleh sumber berita seperti Al-Jazeera, BBC dan New York Times. Namun, ketika protes itu mulai menjadi matang dan jumlah orang-orang yang turun ke jalan-jalan meningkat, ada pergeseran tiba-tiba dari saluran-saluran berita dengan mengacu protes itu sebagai protes ‘pro-demokrasi’.[1] Hampir dalam semalam semua saluran berita itu mengacu pada seruan bagi demokrasi gaya Barat di wilayah tersebut. Titik catatan atas hal ini, bukanlah dari konspirasi oleh media, namun mereka hanya mencerminkan konteks yang diciptakan bagi mereka oleh para politisi Barat seperti Barak Obama Presiden Amerika Serikat yang mendukung protes itu dan menyerukan reformasi demokratis dalam mengatur agenda itu agar diikuti oleh media. Tidak ada fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa rakyat lebih menyerukan demokrasi daripada ketika demonstrasi itu mulai terjadi lebih kurang seminggu sebelumnya. Jika ada alasan kenapa semakin banyak orang yang turun ke jalan-jalan dan dimana ratusan ribu orang berdoa di Tahrir Square maka jelaslah bahwa titik acuan bagi kebanyakan demonstran itu bukanlah liberalisme melainkan Islam.[2] Berkembangnya demonstrasi pro-demokrasi berarti bahwa ketika pemberontakan itu sampai ke Libya, Yaman dan Suriah asumsi terbanyak yang otomatis adalah bahwa mereka juga ingin demokrasi, suatu asumsi yang didasarkan pada informasi dan bukan pada realitas. Selama puncak protes di Yaman, banyak saluran berita utama menunjukkan gambar-gambar Sheikh Zindani dalam menangani protes besar di Shan’a selama demonstrasi pada hari Jumat. Jika Anda percaya cerita yang diberikan oleh para penyiar itu, maka itu adalah tindakan mengumpulkan orang-orang yang menyerukan demokrasi dan liberalisme. Namun, orang yang mengerti bahasa Arab dan benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan oleh Zindani akan menyadari bahwa dia menyerukan pelaksanaan Syariah dan Khilafah dengan mengutip hadits Nabi Muhammad SAW tentang kembalinya Khilafah.[3]

B.            Zaman Baru “ Arab Spring “

Revolusi Arab (Arab Spring)” tepatnya dimulai pada bulan Januari 2011. Satu tahun telah berlalu. Adakah perubahan yang mendasar terjadi di Timur Tengah?

Pergolakan ini berawal dari Tunisia, meluas ke Mesir hingga akhirnya melanda sebagian  besar dunia Muslim. Setelah setahun, perubahan rezim hanya terjadi di Libya. Sementara di Mesir dan Tunisia, para penguasanya mungkin berganti. Namun, rezim lama sebenarnya masih tetap berkuasa. Penyebabnya adalah campur-tangan kekuatan asing terutama Amerika. Amerika memanipulasi perubahan di Timur Tengah dengan tujuan menciptakan Timur Tengah Raya baru, dengan kekuatan lama Eropa yang memiliki pengaruh kecil. Pemecatan Zine El Abidine Ben Ali bukanlah peristiwa yang terjadi secara acak, namun merupakan sintesis dari korupsi yang merajalela selama 23 tahun di bawah lindungan Barat. Hal ini diperburuk oleh krisis keuangan global dan program-program structural pengisap darah IMF. Amerika bersemangat menunggu gejolak yang sama di Aljazair, Yordania dan Negara-negara Teluk. Mereka berharap bisa mengontrol rezim-rezim itu untuk memberikan kesetiaan kepada Amerika Serikat, setelah sebelumnya Negara-negara itu lebih banyak berkorban untuk Inggris dan Prancis.

  1. 1.      Negara Mesir

Amerika Serikat menjinakkan pemberontakan dengan cara membuang agen-agen yang setia kepada Mubarak, berikutnya menyerahkan kekuasaan kepada militer untuk memerintah Mesir. Perjanjian Terusan Suez dan Pakta Bersama Mesir dengan Israel tetap berlaku sehingga banyak mengecewakan masyarakat Mesir. Saat ini Amerika secara terbuka membangkitkan kembali ambisinya untuk menguasai Dunia Arab, sesuatu yang dulunya dianggap terlampau ambisius dan berbahaya dibicarakan secara terbuka. Partai Ikhwanul Muslimin dan An Nur mendapatkan kemenangan telak. Namun, agenda mereka tampaknya tidak akan berbeda dengan para  pendahulunya. Walaupun Ikhwanul Muslimin adalah kelompok politik terbesar di Mesir dan kekuatan yang luar biasa, mereka justru menempatkan diri pada posisi yang lemah. Mereka menunjukkan diri bahwa mereka tidak benar-benar menyerukan Islam. Mereka berusaha menenangkan kekhawatiran dunia Barat terhadap Islam di Mesir. Ikhwanul Muslimin menyatakan siap masuk ke dalam pemerintahan dan berkoalisi  dengan partai-partai lain. Hilarry Clinton mengatakan pemerintaha Obama akan melanjutkan pendekatan dengan melakukan kontak-kontak terbatas dengan Ikhwanul Muslimin yang sudah dilakukan selama sekitar lima atau enam tahun. Partai An Nur tidak berbeda . juru bicara Partai An Nur dari Salafi. Yousri Hammad, dalam sebuah wawancara telepon dengan saluran satelit independen An –Nas menyatakan kesiapan partainya untuk mempertahankan hubungan Mesir dengan Israel. “ Mesir adalah penanda tangan perjanjian-perjanjian internasional dan hal ini harus dihormati. Ini bukan pendapat pribadi saya atau pendapat dari ketua partai. Ini adalah bagian dari kebijakan partai.” ujarnya.[4]

  1. 2.      Negara Suriah

Bashar Al-Assad teru melakukan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri, sementara masyarakat internasional hanya menonton. Respon masyarakat internasional sebagian besar hanyalah retorika. Pada saat yang lain banyak menyerukan pemecatan Assad, Amerika malah menyerukan rezim Assad untuk melakukan reformasi. Suriah kerap digambarkan sebagai Negara yang memperdulikan aturan-aturan internasional dan mendukung militant Hizbullah dan Palestina. Namun, yang luput dari pengawasan umum adalah bahwa pemerintah Amerika selalu memandang Suriah sebagai wakil Amerika yang penting dibutuhkan di wilayah tersebut. Suriah telah menjaga kepentingan-kepentingan Amerika, di antaranya lewat tindakan penangkapan dan penyiksaan terhadap rakyatnya sendiri. Di irak, Suriah memainkan peran aktif dalam menginfiltrasi kaum Islamis dan memberikan informasi intelijen berharga kepada pasukan koalisi pimpinan AS. Termasuk kepada pasukan Penangkis Suriah (SDP) di Lebanon yang menjamin perlindungan kepentingan-kepentingan Amerika di bawah Perjanjian Taif tahun 1989.

Amerika telah mendorong oposisi Suriah untuk memelihara dialog dengan rezim Bashar Al-Assad, mempersiapkan soad map reformasi dengan tetap mempertahankan Assad. Hilarry Clinton menjelaskan sikap Amerika dalam wawancaral  dengan media Italia Di Mezz’Ora (Mei 2011). “ yang kami tahu adalah bahwa mereka (rezim Assad) masih memiliki kesempatan melakukan agenda reformasi. Tak seorang pun percaya Qaddafi akan melakukan hal itu. Orang percaya ada kemungkinan jalan ke depan bagi Suriah. Jadi kami akan terus bergabung dengan semua sekutu kami untuk terus menekan dengan sangat keras pada masalah itu.”

Partai Islam pertama yang meraih kemenangan di zaman baru Timur Tengah yang disebut Arab Spring itu adalah Partai Ennahda di Tunisia, juga diikuti partai berbasis Islam di Maroko, Partai Keadilan dan Pembangunan, yang menyapu bersih suara dalam pemilu bersejarah negeri itu. Dan paling akhir di Mesir, Partai Ikhwanul Muslimin juga menjadi pemenang dalam pemilu demokratis pertama negeri itu pasca Hosni Mubarak lengser.[5] Di negara-negara Arab lain, hal yang sama juga diperkirakan akan terjadi. Munculnya kekuasaan kubu Islam di Timur Tengah tak dapat dielakkan menimbulkan situasi baru di kawasan yang kaya energi tapi selalu bergejolak itu. Konstelasi politik, regional maupun internasional, akan mendapat dampak dari perubahan kepemimpinan Timur Tengah ini. Kekhawatiran dan harapan merebak sekaligus, tentu saja tergantung pada kepentingan siapa yang berbicara. Negara-negara Barat, apalagi Israel, adalah pihak yang khawatir atas perkembangan terbaru ini. ‘Kenyamanan’ Barat-Israel dengan kondisi Timur Tengah seperti di masa lalu, kini telah terusik. Barat-Israel dalam beberapa dasawarsa terakhir memang merasa cukup ‘nyaman’ dengan memiliki sekutu-sekutu erat di Timur Tengah, meski sekutu-sekutu tersebut merupakan para diktator, tiran, koruptor atau para pelanggar HAM berat. Tapi era itu kini telah berakhir. Gelombang aksi demonstrasi menuntut reformasi demokrasi di kawasan itu telah menumbangkan banyak sekutu AS-Israel. Yang menjadi kekhawatiran mereka adalah tumbangnya sekutu-sekutu Barat-Israel itu digantikan oleh kelompok-kelompok Islamis yang cenderung mengambil sikap bermusuhan. Barat-Israel sangat khawatir seperti apa yang terjadi di Iran jatuhnya rezim Shah Iran yang pro-Barat diganti oleh kelompok Islam yang sangat anti-Barat  terjadi juga di kawasan Arab Spring lainnya.[6] Partai-partai yang kini meraih kemenangan adalah partai Islam moderat. Bahkan Partai Ikhawanul Muslimin, yang di era Hosni Mubarak selalu digambarkan sebagai kelompok militan, ternyata sangatlah moderat. Dalam kampanyenya, partai itu selalu menekankan tak ingin mendirikan negara Islam atau mengambil sikap bermusuhan dengan Barat.[7]

  1. B.                  Propaganda Amerika Terhadap Negara Islam Iran

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Ramin Mehmanparast, mengatakan, aksi perlawanan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara atau yang lebih dikenal sebagai Arab Spring merupakan kekalahan bagi Amerika Serikat, demikian laporan stasiun Press TV, Rabu (2/11/2011).[8] Amerika Serikat kehilangan sekutu regionalnya setelah revolusi dan aksi perlawanan di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara, kata Mehmanparast. “Amerika kebingungan dan keheranan dalam keputusan dan perilaku mereka dalam menghadapi revolusi regional,” kata Mehmanparast.[9] Ia merujuk kepada tuduhan AS baru-baru ini mengenai keterlibatan Teheran dalam rencana teror guna membunuh utusan Arab Saudi dan upaya seperti itu ditujukan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari gelombang perlawanan rakyat di wilayah tersebut.  Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran itu menyatakan, mayoritas warga Amerika takkan menerima skenario palsu Washington terhadap Republik Islam tersebut, kata media satelit Press TV. Pada Oktober, Amerika Serikat menyatakan Republik Islam Iran terlibat dalam merencanakan dan mendorong kegiatan teror di luar negeri, termasuk rencana untuk membunuh duta besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat. Iran dengan keras telah membantah tuduhan itu. Republik Islam tersebut juga menuntut permintaan maaf resmi dari Amerika Serikat berkaitan dengan tuduhan anti-Iran dan pemberitaan palsu media yang menyatakan bahwa Teheran berencana membunuh duta besar Arab Saudi untuk Washington.

Dalam surat terakhir kepada Pemerintah AS, Iran bersikeras bahwa pihak berwenang Amerika harus meminta maaf kepada pemerintah dan rakyat Iran karena telah melontarkan tuduhan palsu yang terhadap Teheran tentang pelanggaran norma dan peraturan internasional. Surat tersebut telah diserahkan ke Kedutaan Besar Swiss di Teheran yang mewakili kepentingan AS di Iran sejak Teheran dan Washington memutuskan hubungan diplomatik tahun 1980.[10]

  1. C.                  Krisis Suriah Oleh Konfirasi Amerika-Israel

krisis Suriah membuka mata dunia dan mempertontonkan kebusukan musuh-musuh suriah sebenarnya.

1. Amerika, Israel dan NATO Hampir semua kerusuhan, peperangan dan teror yang terjadi khususnya di Timur Tengah, dalangnya adalah Amerika-Israel dengan menggunakan NATO sebagai ujung tombaknya. Arab spring yang terjadi di dunia Arab sebenarnya konspirasi mereka meskipun tidak semuanya sejalan dengan skenario yang sudah mereka persiapkan.[11] Dikarenakan bangkitnya kesadaran rakyat dan rindunya mereka dengan kebebasan dan kemulian Islam yang selama ini terpendam dalam kubangan lumpur dosa para pemimpin boneka Amerika dan budak Israel. Suriah adalah diantara negara yang berusaha dikudeta secara halus dengan cara menggunakan segelintir oposisi binaan CIA yang sudah dipersiapkan, baik dana maupun persenjataan. Perusuh-perusuh binaan ini adalah para teroris yang tidak segan membunuh sipil dan anak-anak kecil sekalipun. Barat menamakan mereka “aktivis”. Amerika–Israel begitu bernafsu menggulingkan pemerintahan sah Damaskus dan menggunakan segalam macam cara termasuk veto PBB, dikarenakan dukungan penuh dan tanpa henti Suriah terhadap trio muqowamah; Iran, Hamas dan Hizbullah.[12] Inilah inti sebenarnya kengototan Washington. Di samping itu, karena Damaskus begitu mesra dengan musuh Amerika, Rusia dan Cina. Sehingga banyak analis perang mengatakan kalau krisis suriah sebenarnya perang antara Amerika vs Rusia Cina. Bahkan kalau seandainya perang jadi digelar akan terjadi perang dunia ketiga.

      Revolusi       Perang saudara       Mengalami kerusuhan sipil dan perubahan pemerintahan       Protes dan perubahan pemerintahan
      Protes besar       Protes kecil       Protes di luar dunia Arab

Sebab atau Faktor terjadinya demonstrasi besar-besaran di Kawasan Timur Tengah

Ciri-ciri Gerakan Demonstrasi

  1. D.                 Masa Depan Revolusi Arab

Revolusi Arab menantang tatanan dunia yang ada. Rakyat bangkit menggulingkan para penguasa mereka. Revolusi Arab masih bekerja menuju suatu kemajuan. Peran Islam dalam masyarakat. Partai-partai yang ingin melemahkan Islam akan melihat diri mereka sendiri tersisih. Ameika dan dunia Barat harus bersaing dengan Dunia Islam yang menjadi muda kembali. Dunia Islam membuktikan mampu mematahkan belenggu ketakutan, dengan menjatuhkan rezim represif dukungan Barat, untuk menentukan nasib mereka di tangan mereka sendiri, yang pasti Dunia Islam menginginkan perubahan.[15]

Daftar Pustaka

www.kompas.com “ AS kalah hadapi Negara Islam Iran”, h. 2-3 diakses minggu 8 April 2012 jam 20:19 wib dibogor

www.kompas.com ” Fenomena krisis suriah : konfirasi Amerika-Israel” rabu (7/3) dari berita Al-manar h. 2-3 diakses minggu 8 April 2012 jam 21:24 wib dibogor

www.wikipediabahasaIndonesia.com, ensiklopedia bebas. hal 2-4 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

www.wikipediabahasaIndonesia.com, ensiklopedia bebas. hal 2-6 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

www.kolom.detiknews.com ‘pelajaran dari Arab Spring dan AKP Turkey’ hal 2-4 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

www.kolom.detiknews.com ‘pelajaran dari Arab Spring dan AKP Turkey’ hal 4-3 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

www.kompas.com “ AS kalah hadapi Negara Islam Iran”, h. 1-2 diakses minggu 8 April 2012 jam 20:19 wib dibogor

www.kompas.com “ pidato menteri luar negeri iran”, h. 2 diakses minggu April 2012 jam 21:02 wib dibogor.

Al-waa’ie, Media Politik dan Dakwah. No 138. XII 1-29 Februari 2012 h. 66-67


[1] www.mediasyabab.com satu tahun arab spring demokrasi atau islam? Hal 1. Diakses hari selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib  dilembang bandung

[2] www.mediasyabab.com satu tahun arab spring demokrasi atau islam? Hal 1-2. Diakses hari selasa 13 Maret 2012  Jam 18:20 wib dilembang bandung

[3] http//www.women-hizbut-tahrir.info konferensi internasional perempuan diakses dalam situs www.mediasyabab.com hal 1-2 diakses selasa 13 Maret 2012  Jam 18:20 wib dilembang bandung 

[4] Al-waa’ie, Media Politik dan Dakwah. No 138. XII 1-29 Februari 2012 h. 66-67

[5] www.kolom.detiknews.com ‘pelajaran dari ArabSpring dan AKP Turkey’ hal 1-2 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

[6] www.kolom.detiknews.com ‘pelajaran dari Arab Spring dan AKP Turkey’ hal 2-4 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

[7] www.kolom.detiknews.com ‘pelajaran dari Arab Spring dan AKP Turkey’ hal 4-3 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

[8] www.kompas.com “ AS kalah hadapi Negara Islam Iran”, h. 1-2 diakses minggu 8 April 2012 jam 20:19 wib dibogor

[9] www.kompas.com “ pidato menteri luar negeri iran”, h. 2 diakses minggu April 2012 jam 21:02 wib dibogor.

[10] www.kompas.com “ AS kalah hadapi Negara Islam Iran”, h. 2-3 diakses minggu 8 April 2012 jam 20:19 wib dibogor

[11] www.kompas.com ” Fenomena krisis suriah : konfirasi Amerika-Israel” rabu (7/3) dari berita Al-manar h. 2-3 diakses minggu 8 April 2012 jam 21:24 wib dibogor

[12] www.kompas.com ” Fenomena krisis suriah : konfirasi Amerika-Israel” rabu (7/3) dari berita Al-manar h. 3-5 diakses minggu 8 April 2012 jam 21:24 wib dibogor

[13] www.wikipediabahasaIndonesia.com, ensiklopedia bebas. hal 2-4 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

[14] www.wikipediabahasaIndonesia.com, ensiklopedia bebas. hal 2-6 diakses selasa 13 Maret 2012 Jam 18:20 wib dilembang bandung

[15] Al-waa’ie, Media Politik dan Dakwah. No 138. XII 1-29 Februari 2012 h. 66-67